(Semarang, elsaonline.)- Divisi Kajian
Lembaga Sosial dan Agama (eLSA) Semarang kemarin (9/3) menggelar
diskusi sesi ‘ilmu sejarah’ dengan tema “Semarang dan Jejak PKI”.
Diskusi kali ini dihantarkan oleh seorang pendeta Gereja Kristen Muria
Indonesia (GKMI) sekaligus staff pengajar dari Sekolah Tinggi Teologi
(STT) Abdiel Ungaran, Pdt Rudolfus Antonius atau yang kerap dipanggil
Rudiyanto yang bertempat di kantor eLSA Semarang, perum Pandana Merdeka
N 23 Semarang.
Dipandu oleh Direktur eLSA, Tedi
Kholiludin, acara itu dihadiri oleh dari aktivis kampus, tamu undangan
maupun dari masyarakat di sekitar. Tercatat ada kurang lebih 30 peserta
hadir dalam diskusi tersebut. Diksusi terlihat semakin marak ketika
sang nara sumber menyampaikan materi secara dialogis, serta menyusun
sebuah paper yang berjudul Bintang Merah di Ufuk Timur; periode pertama partai komunis Indonesia (1914-1927).
Dalam diskusi itu, Rudiyanto sempat
melukiskan sejarah PKI di masa 13 tahun keemasan, yakni pada tahun
1914-1927. Menutnya, PKI adalah anak zaman yang dilahirkan dalam
konteks sosio-historis Nusantara, yakni sebagai hasil pertemuan
kondisi-kondisi objektif dan faktor-faktor subjektif pada peralihan
abad XIX dan abad XX.
Setelah munculnya Indie Socia-Democtratishe Vereniging (ISDV)
atau perhimpunan social-demokratik hindia pada tanggal 9 Mei 1914 yang
kemudian dipandang sebagai cikal bakal partai komunis di Indonesia
nampak memiliki dua mata penilaian. Satu sisi, ada benang merah antara
ISDV dan PKI, yang kemudian hari ISDV menjelma menjadi PKI. Dan
lainnya, ISDV dianggap bukan sebuah partai, karena dalam kelompok itu
tidak terdapat orang-orang Indonesia dalam komposisi anggotanya.
Kemudian, sesaat Belanda memberikan
politik etis kepada rayat Indonesia, sekilas hal ini menyuburkan bagi
tumbuh dan berkembangnya pemikiran dan gerakan di Indonesia, terutama
munculnya partai komunis Indonesia. Sejatinya, kebijakan ini mengundang
dualisme kebijakan. Satu sisi, Kebijakan etis dinilai sebagai balas
budi dari pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Indnesia. Banyak
dari mereka yang lebih menjadikan politik etis unuk menunjang masa
depan mereka di masa depan. Namun, ada juga yang memanfaatkan hal itu
sebagai angin segar untuk berjuang melawan kolonialisasi penjajah.
Di sisi lain, kebijakan etis ditujukan
untuk memperadabkan bangsa-bangsa yang terjajah, termasuk Indonesia.
Rudi menggariskan bahwa Orang Eropa itu sudah tinggi derajatnya.
Sehingga, ia tidak perlu lagi menerima sanjungan dari rakyat jajahan.
Kebijakan etis pun dijadikan ajang penebusan dosa. Lantas mereka
menyelipkan misionaris agama untuk meninggikan derajat orang-orang
jajahan. Salah satu cara yang paling nyata dilakukan dengan memberikan
politik etis dengan menyelipakan misi agama di dalamnya.
Meski demikian, masih banyak
orang-orang Belanda yang tidak suka dengan kebijakan etis ini,
sehingga ia melampiskan kepada gubernur jendral hindia belanda waktu
itu dijadikan sasaran cercaan. Kebijakan politik Etis dengan dalih
penebusan dosa dilakukan dengan biaya yang mahal.
Dalam pandangannya, Rudi tetap
berpendirian pada penjajahan apapun bentuknya adalah sama, “penjajahan
apapun ya sama, tidak ada bedanya.” Meski dengan biaya mahal dengan
mengihtung ulang, tetapi politik etis masih dalam koridor kepentingan
belanda. Watak ekspolitatif untuk menjarah kekayaan alam sudah cukup
digantikan dengan model penjajahan baru berupa watak pemberdayaan
kepada masyarakat. Sekilas, hal ini terkesan sebagai balas budi, namun
tandas Rudi, apapaun namanya, “penjajahan ya penjajahan”. [elsa-ol/09]
Post comment
salam elsa
Demokrasi adalah sistem yang paling sesuai untuk konteks Indonesia yang plural ini. Pengalaman pahit pemerintah Orde Baru yang otoriter, menindas dan represif, telah membuat kita semua trauma dan tidak terulang lagi untuk masa mendatang. Sebagaimana kecenderungan di setiap negara otoriter, di Indonesia pun pada waktu itu masyarakat tidak diberi kesempatan untuk mengekspresikan gagasan-gagasan demokrasi apalagi mengevaluasi kinerja pemerintah, misalnya dalam bentuk government Watch menyangkut pertanggungjawaban publik dan semacamnya. Kebebasan pers (free press) dibatasi bahkan dikebiri, demikian juga tidak ada kebebasan masyarakat sipil (civil liberties). Karena itu, eLSA “dideklarasikan” dalam rangka untuk ikut mengawal proses demokratisasi di Indonesia.Recent Posts
- Kampanye Anti Diskriminasi dan Kebebasan Beragama
- Islam Postliberal: Agama, Kebebasan dan Kemanusiaan
- eLSA Report on Religious Freedom V
- Selama 2011, Terjadi Sembilan Pelanggaran
- Berhala Tuhan
- Diskusi Dua Mingguan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
- Ringkasan Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Jawa Tengah 2011
- Diskusi Dua Mingguan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
- Diskusi dan Launching Laporan Tahunan Kebebasan Beragama di Jateng 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar